Minggu, 22 Juni 2008

"UPAYA PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DALAM MENGATASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN GLOBAL WARMING"

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Pencemaran yang terjadi di Bumi Nusantara akhir-akhir ini menyebabkan keresahan, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat adalah refleksi bahwa tidak berfungsinya peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum sebagaimana mestinya, sehingga apa yang diamanatkan dalam semangat lahirnya UUPLH 23 tahun 1997 dengan berdasarkan pada UUD 1945 pasal 33 bahwa mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat, tampaknya masih jauh dari kenyataan. Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan kesejahteraan masyarakat justru mengancam fungsi lingkungan itu sendiri dan bahkan merugikan kehidupan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA yang ironisnya justru dilegalkan (tidak liar) oleh pemerintah dengan diterbitkannya surat izin melakukan usaha/kegiatan berdasarkan pertimbangan yang ada dalam dokumen lembaga pemerintah.

Wacana tentang lingkungan hidup saat ini sedang berkembang pesat. Hal ini terlihat dari isu lingkungan yang paling mencuat dalam pergaulan masyarakat dunia Internasional selain isu tentang Hak Azasi Manusia (HAM), perdebatan perkembangan senjata nuklir dibeberapa negara, politik luar negeri, terorisme dan lainnya. Isu lingkungan yang paling mencuat adalah terjadinya GLOBAL WARMING (Pemanasan Global). masalah pelestarian lingkungan hidup dengan cepat mengalami revitalisasi dalam kehidupan masyarakat utamanya arus bawah. Para pemuda dan pemudi yang masih bergelut dengan berbagai tantangan dunia ilmu dan teknologi bahu membahu dengan generasi muda yang bergelut dengan kehidupan sehari-hari diluar gedung-gedung perguruan. Solidaritas ini menunjukkan pertanda terbitnya hari-hari baru bangsa Indonesia. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat lingkungan hidup menjadi salah satu agenda utama yang sedang diprioritaskan oleh pemerintah apalagi telah menjadi isu Internasional.
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sangat rentan akan dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, kemarau yang berkepanjangan, turunnya produksi pangan, terganggunya kesediaan air dan punahnya keanekaragaman hayati merupakan dampak perubahan iklim. Apabila tidak ada upaya penanganan, maka dampak berskala tsunami dapat terjadi. Menghadapi perubahan iklim tersebut, diperlukan langkah – langkah strategis agar dampak yang ditimbulkan bisa dikurangi atau dihindari, diantaranya dengan membuat kesepahaman mengenai langkah bersama dalam menghadapi climate change ini. Dalam beberapa dekade terakhir ini dunia telah benar-benar merasakan dampak terjadinya perubahan iklim. Dalam skala yang paling mikro dampak perubahan iklim tersebut secara langsung sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai negara kepulauan utamanya petani, nelayan, dan masyarakat pada umumnya. Demikian pula bencana ekologis yang datang silih berganti juga merupakan dampak langsung perubahan iklim. Untuk itu diperlukan gerakan bersama masyarakat sipil khususnya generasi muda untuk mengatasi krisis global yang saat ini terjadi.

Alam semesta yang merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa, memegang kunci dalam tata kehidupan manusia. Semua bergerak harmonis dalam alam yang saling mengisi, saling memberi, dan saling menghormati. Hanya seringkali manusia berpaling dari lingkungan. Manusia dengan keunggulan pemikiran dan teknologi menjadi cenderung sebagai subjek dari perusakan lingkungan demi kepentingan dan keserakahan tertentu dan sesaat. Mereka tidak menyadari bahwa bila lingkungan rusak akan berakibat pula pada diri sendiri. Manusia menjadi pelaku perusakan lingkungan sekaligus sebagai korban dari perusakan lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena penegakan hukum lingkungan belum dilakukan meskipun perangkat hukumnya sudah memadai. Di sini tinggal kemauan pemerintah dalam menerapkan hukum dan pemberian sanksi yang tegas sesuai hukum yang berlaku.
Hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Secara tidak langsung kepada masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat[1].
Sehubungan dengan pencanangan visi clean and green Aceh oleh Gubernur Provinsi NAD pada peringatan hari Lingkungan Hidup se-dunia, pendeklarasian moratorium logging, dan upaya pengelolaan lingkungan hidup lainnya haruslah mendapat dukungan penuh dari setiap elemen masyarakat, Namun, tidak bisa kita pungkiri lagi banyak juga pelaku kejahatan dibidang lingkungan hidup yang masih saja terus melakukan aktivitasnya, maka upaya penegakan hukum lingkungan harus mendapat prioritas dalam pelaksanaannya. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kepada pelanggar yang telah merusak dan mencemari Lingkungan Hidup. Visi clean and green tersebut bukan hanya terbatas pada konsep pencegahan dan upaya rubah perilaku masyarakat, namun lebih jauh lagi yaitu pemberantasan para pelaku kejahatan dibidang lingkungan yang sangat marak terjadi belakangan ini seperti illegal logging (pembalakan liar), illegal fishing (penangkapan ikan illegal), pembuangan limbah sembarangan oleh industri, serta bentuk perusakan dan pencemaran lainnya, karena mengingat dampak dari kegiatan tersebut sudah terlihat yaitu terjadinya global warming (pemanasan global) yang menyebabkan mencairnya es di beberapa belahan dunia.
Salah satu dampak yang paling terasa adalah perubahan iklim. Perubahan iklim sudah hampir menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, fenomena ini masih belum dipahami secara tepat oleh masyarakat sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman atau kesulitan dalam membedakan perubahan iklim dengan variasi iklim yang kadang-kadang terjadi dengan gejala yang terlihat ekstrim dan membawa dampak seketika yang cukup signifikan.
  1. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM.
Paradigma baru pengelolaan Lingkungan Hidup semakin marak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Realitas ini terlihat dari mulai menggeliatnya masyarakat dalam melakukan kampanye penanaman pohon dalam konsep penghijauan baik dari lingkungan dalam organisasi kemasyarakatan, institusi pemerintah, kalangan organisasi pendidikan dan sebagainya. Hal ini menunjukkan sikap dan reaksi seluruh elemen masyarakat sangat berupaya dalam melakukan terobosan baru guna menjaga eksistensi lingkungan hidup di Indonesia.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah tanggung jawab kita bersama, mulai dari rakyat kecil sampai pada rakyat kaya, birokrat Kepala Desa sampai pada Presiden, para cendekiawan, anggota LSM dan usahawan. Namun, kita belum melakukannya dengan baik dan bahkan ada berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah sangat merugikan lingkungan hidup itu sendiri yang menyebabkan pencemaran bahkan kerusakan. Sehingga praktik penglolaan hidup kita harus segera dibenahi secara professional.
Banyak permasalahan yang dihadapi oleh daerah tingkat provinsi dalam hal pengelolaan Lingkungan Hidup ini, dalam kaitan dengan kewenangan yang didapatkan sangat terbatas, sehingga pengelolaan lingkungan dengan konsep keunggulan wilayah masih harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat yang akhirnya membuat pemerintah daerah menjadi kurang kreatif dalam pengelolaan lingkungan hidup ini. Ketidakpastian kewenangan institusi Pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan semakin bertambah dalam kaitannya dengan undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH). Dalam hal penyerahan kewenangan dalam pengelolaan lingkungan hidup ini tidak bisa terlepas dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam penerapannya terhadap pembagian bidang kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi sebagai daerah otonom.
Kewenangan pemerintah daerah provinsi terdeteksi sangat limitatif dan kecil. Banyak bidang yang implementasi dan kewenangannya masih tergantung pada pengaturan lebih lanjut, dan juga masih menjadi penobatan dari pemerintah pusat. Apalagi terdapat pernyataan yang memastikan: Pemerintah Pusat menetapkan standar pemberian izin oleh daerah. Khususnya izin lingkungan yang merupakan instrument utama pengelolaan lingkungan yang berfungsi mencegah terjadinya pencemaran-perusakan lingkungan. Apabila yang menentukan mekanisme perizinan adalah pemerintah pusat, dapat diterka bahwa Pemerintah daerah Provinsi menjadi tidak banyak berarti dan berperanan dibidang pengelolaan lingkungan. Penetapan standar perizinan oleh Pemerintah pusat masih dapat ditoleransi kalaulah format izin lingkungan menjadi izin lingkungan terpadu dan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Mengenai hal ini, sekarang terus meneus sedang dikaji oleh berbagai institusi pemerintah maupun Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kepedulian terhadap aspek kelembagaan pengelolaan lingkungan[2].
Segala bentuk pengelolaan lingkungan tersebut penulis nilai masih belum efektif, karena dengan lemahnya kewenangan yang ada pada pemerintah daerah membuat penegakan hukum lingkungan ini menjadi mandul, karena latar belakang kepentingan sangat sarat dalam proses penegakan hukum nantinya, apalagi telah terjadi benturan kewenangan lintas sektoral.
Dalam proses penegakan hukum lingkungan dibutuhkan suatu rangkaian sistem penegak hukum yang berkompeten dalam bidang lingkungan hidup dan dukungan penuh oleh seluruh masyarakat sehingga upaya penegakan hukum lingkungan ini benar-benar mencapai suatu keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Tanpa dibekali ilmu yang kuat tentang lingkungan hidup, maka mustahil penegakan hukum lingkungan akan berjalan dengan baik. Masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan penduduk, migrasi, dan tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengonsumsi dan rekreasi. Jadi, permasalahannya tidak semata-mata menyangkut ilmu alam, tetapi berkaitan juga dengan gejala sosial.
Selain itu, pemerintah Aceh juga telah mendeklarasikan program Morratorium Logging pada hari rabu, 6 juni 2007, Pemerintah Aceh dalam pernyataannya tentang pemberlakuan Morratorium logging atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam guna menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui re-design (penataan ulang), reforestrasi (penanaman kembali hutan), dan reduksi reforestrasi (menekan laju kerusakan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan hutan yang lestari dan Aceh yang sejahtera.
  1. IDENTIFIKASI MASALAH
1) Apa yang dimaksud dengan perubahan iklim dan global warming serta penegakan hukumnya?
2) Bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan global warming di Indonesia?
3) Dimana letak pembagian kewenangan kelembagaan dalam pengelolaan hukum lingkungan di Indonesia?
4) Bagaimana proses penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
5) Kenapa Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia belum maksimal?
  1. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan yang diharapakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan tentang pentingnya penegakan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup ini guna tercapainya pemenuhan setiap hak manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
2. Memberikan pemahaman bahwasanya konsep pengelolaan lingkungan hidup bukan menghambat pembangunan di Negara-negara berkembang;
3. Memberikan informasi tentang lingkungan hidup dalam pembagian hak dan kewajiban serta proses penegakan hukumnya;
4. Meningkatkan kesadaran seluruh elemen masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup dan membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya;
5. Meningkatkan kesadaran dan kompetensi para penegak hukum untuk melakukan tugasnya secara maksimal dalam penegakan hukum lingkungan;
6. Mengkritisi peraturan Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup (UUPLH) Nomor 23 tahun 1997.
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan ini:
1. Tercapainya program pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak dari global warming (pemanasan global);
2. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang sadar akan pentingnya melestarikan lingkungan hidup;
3. Terciptanya penegakan hukum yang mempunyai nilai keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dalam penegakan hukum lingkungan;
BAB II
TELAAH PUSTAKA
1. TIMBULNYA PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan baker fosil (BBF) dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama jumlahnya makin banyak di atmosfer. Diantara gas-gas tersebut adalah Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Nitrous Oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat. Berada di bumi yang diliputi gas-gas tersebut bagaikan didalam rumah kaca yang selalu panas dibanding suhu udara diluarnya. Oleh karena itu, gas-gas tersebut dinamakan gas rumah kaca (GRK) dan pengaruh yang ditimbulkan disebut dengan efek rumah kaca yang selanjutnya menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur yang dampaknya sudah mulai kita rasakan sekarang ini. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi CO2 di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume), saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan hidup tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv. Akibatnya, suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4,5oC dengan dampak terhadap berbagai sector kehidupan manusia yang luar biasa besarnya, antara lain menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman. Untuk merespon persoalan diatas, United Nation environmentsl Programme (UNEP) dan World Metereological Organization (WMO) ppada tahun 1988 mendirikan IPCC (International Panel on Climate Change) yang tugasnya adalah melakukan penelitian ilmiah tentang perubahan iklim.
Dari hasil laporan IPCC, mempertinggi motivasi untuk membuat suatu konvensi global yang dapat mengatasi masalah global warming dan perubahan iklim. Atas dasar itu, PBB membuat konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework on Climate Change/UNFCC) 1992. Secara prinsipil, konvensi ini memuat kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan kesepakatan untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan teknologi dalam upaya negara-negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana terpenuhi dalam konvensi itu. Dalam perkembangannya, negara-negara maju menunjukkan sikap kurang konsekuen dan bahkan tidak konsisten. Karena itu apa yang disebut “kesediaan negara-negara maju untuk mengurangi gas rumah kaca” dalam konvensi itu hanya sekedar untuk mempermainkan negara-negara berkembang yang menyembunyikan perbedaan kepentingan-kepentingan.
Konvensi perubahan iklim merupakan Framework convention, sehingga konvensi ini membutuhkan pembentukan protocol untuk menetapkan regulatory measures, seperti berapa gas rumah kaca yang harus dikurangi, kapan pengurangan mulai berlaku dan sebagainya. Regulatory Meassures ini dikeluarkan 5 tahun kemudian di Kyoto pada tahun 1997, yang selanjutnya disebut protocol Kyoto. Protocol Kyoto adalah sebuah instrument hukum yang dirancang untuk mengiplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan GRK agar tidak mengganggu sistem iklim bumi.
Protokol Kyoto mulai dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Berlakunya protokol ini digantungkan pada persyaratan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55% dari total emisi para pihak Annex I UNFCCC yang merupakan peningkatan konsentrasi GRK. Negara-negara tersebut antara lain: Amerika serikat (36,1%), Rusia (17,4%), Jepang (8,5%), Jerman (7,4%), Inggris (4,2%), Kanada (3,3%), Italia (3,1%), Polandia (3%), Perancis (2,7%) dan Australia (2,1%).
Pada tanggal 18 November 2004, Rusia meratifikasi instrumen Protokol Kyoto. Ratifikasi Rusia ini merupakan momentum penting karena dengan ratifikasi tersebut telah terpenuhi persyaratan substansial sebagaimana yang tercantum dalam pasal 25, yaitu diratifikasi oleh negara-negara maju yang berkoalisi dalam bentuk Annex I UNFCCC yang secara proporsional menghasilkan sekurang-kurangnya 55% dari total emisi karbondioksida.
2. DASAR HUKUM KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
Permasalahan Lingkungan Hidup ini bukan hanya menjadi permasalahan salah satu negara saja dibelahan bumi ini, walaupun salah satu negara merupakan penyumbang utama dan pelaku sentral terhadap timbulnya pemanasan global ini, dampaknya tidak hanya pada negara tersebut saja, bahkan negara-negara yang tidak melakukan kegiatan yang berbahaya terhadap lingkungan juga terkena dampak dari pemanasan global ini, sehingga seluruh negara-negara didunia melalui beberapa konferensi kiat melakukan kampanye untuk mengatasi dampak dari pemanasan gglobal guna menciptakan lingkungan yang berkelanjutan. Adapun konferensi Internasional itu meliputi:
a. Konferensi Stockholm 1972
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup telah diadakan pada tanggal 5-16 juni 1972 di Stockholm yang dihadiri oleh wakil dari 110 negara. Konperensi tersebut membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (“eco-development”).
Konferensi ini, berhasil mengesahkan beberapa hal berupa:
· Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.
· Rencana aksi lingkungan hidup manusia, terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang
· Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia.
Action Plan international yang terdiri atas tiga bagian kerangka :
1. A global assessment programme, dikenal sebagai Earthwatch;
2. Environmental management activities;
3. Supporting measures, education and training, public information, and organizational and financing arrangements.
Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan rencana aksi. terdiri dari : Dewan Pengurus, Sekretariat, Dana Lingkungan Hidup, Badan kordinasi lingkungan hidup.
b. Deklarasi Rio De Janeiro 1992
Pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 diadakan peringatan 20 tahun konferensi Stockholm 1972. Konferensi Rio diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45 / 211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46 / 468 tertanggal 18 April 1992. Peringatan tersebut berupa konferensi yang bertempat di Rio De Janeiro dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). UNCED telah berhasil mencapai konsensus yang dituangkan dalam berbagai dokumen dan perjanjian:
· The Rio De Janeiro Declaration on Environment and Development yang menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.
· Non Legally Binding Authorative Statement of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest (Forestry Principles).
· Agenda 21.
· The Framework Convention on Climate Change.
· The Convention on Biological Diversity.
c. Deklarasi Johannesburg 2002
Pada tanggal 1 – 5 September 2002, berlangsung KTT tentang pembangunan berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan. Hasil yang didapat adalah disepakatinya dokumen Plan of Implementation sebanyak 153 paragraf, yang merumuskan tiga hal pokok, yaitu:
1. Pemberantasan kemiskinan
2. Perubahan pola konsumsi dan produksi
3. Pengelolaan sumber daya alam.
Ketiga hal ini menjadi dasar dari sepuluh action plan yang harus dilaksanakan oleh setiap negara. Sesudahnya, berkembang berbagai perjanjian internasional tentang kerjasama lingkungan hidup, seperti Protokol Kyoto, Protokal Cartagena dan lain-lain.
Dengan adanya Konferensi Internasional tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap konvensi yang telah disepakati kedalam peraturan hukum positif di Indonesia, diantaranya melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pada tahun 1997 Undang-Undang ini direvisi lagi menjadi Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Nomor 23 tahun 1997.
Tentunya peraturan per Undang-Undangan tersebut bukan hanya didasari dari konferensi-konferensi Internasional saja. Tetapi sejarah hukum Indonesia mencatat berbagai perkembangan kebijakan hukum dibidang pengelolaan terhadap lingkungan hidup antara lain:
a. Zaman Hindia Belanda
apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan dibidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup dan diterbitkan pada tanggal 5 Juni 1978. yang pertama kali diatur adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu parelvisscherij, sponsenvisscherijordonnantie (Stbl. 1916 No.157). selanjutnya diterbitkan peraturan perikanan untuk melindungi keadaan ikan. Dalam penafsiran ikan disini meliputitelur ikan, benih ikan,dan segala macam kerang-kerangan. Hal lain yang lebih penting adalah pengaturan tentang gangguan yang bernama Hinder-Ordonantie berlaku sejak tahun 1940, perlindungan satwa berlaku sejak tahun 1931, peraturan tentang perburuan berlaku untuk Jawa dan Madurra sejak tahun 1940, Ordonansi yang mengatur perlindungan alam tahun 1941 sekaligus mencabut tentang Ordonansi cagar-cagar alam dan suaka margasatwa, pengaturan tentang pembangunan kota-kota,
b. Zaman Jepang
Pada zaman pendudukan Jepang pengaturan tentang lingkungan hidup lebih difokuskan pada perlindungan terhadap kayu-kayu dan dibidang kehutanan. Tidak banyak peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh jepang, mengingat waktu yang sangat singkat untuk keberadaannya di Indonesia dibandingkan dengan Belanda. Namun ada satu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan yaitu Osamu S.Kanrei No.6 yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan.
Kepentingan dikeluarkan kebijakan tersebut untuk melindungi dan mengamankan ketiga jenis pohon tersebut, karena kayunya ringan dan sangat kuat. Kayu aghata, alba dan balsem merupakan bahan baku untuk pembuatan pesawat peluncur (gliders) dan pesawat peluncur pada zaman pendudukan Jepang sering digunakan untuk mengangkut logistik tentara.
Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah melalui pembaharuan segala peraturan perundang-undangan untuk menngatasi berbagai permasalahan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup ini belum bisa menjanjikan akan mengurangkan dampak dari terjadinya pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup, jika semua peraturan perundang-undangan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh seluruh elemen masyarakat untuk sadar menjaga lingkungannya dan sikap proaktif dan profesionalitas aparat pemerintah khusunya penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tanpa memandang bulu.
3. PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Desakan untuk memberikan perlindungan lingkungan dan bahkan memajukan Hukum Lingkungan pada lingkup global, regional, nasional-lokal semakin menguat dengan lahirnya Deklarasi Nairobi tahun 1982 yang diprakarsai oleh United Nation Environment Programme (UNEP) dalam rangka memperingati Dasawarsa Kedua Lingkungan Hidup di nairobi, Kenya. Lingkungan dan pembangunan pada akhirnya diterima sebagai sesuatu yang integral serta berkelanjutan sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Tokyo tahun 1987. Sejak tahun 1987 inilah secara tekstual-konseptual mulai dipopulerkan terminologi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan terbitnya publikasi dari Experts Group on Environmental Law, World Commission on Environment an Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-14 Juni 1992 tampak mengukuhkan dan meletakkan fondasi dasar pertautan antara segmen lingkungan dan pembangunan dalam spektrum besar yang disebut pembangunan berkelanjutan.
Pengembangan kelembagaan pengelolaan lingkungan pada tingkat lokal (daerah) secara substantif mengikuti dinamika kesadaran ekologis (environmental consciousness) global, regional, dan nasional. Pada tataran mondial-internasional, penyelenggaraan United Nations Conference on The Human Environment (Konferensi Stockhlom) yang dilangsungkan dari tanggal 5-16 juni 19772 di Stockhlom, Swedia, merupakan tonggak bersejarah kebangunan kesadaran lingkungan masyarakat dunia. Jiwa kesadaran ekologi umat manusia yang bersendikan hasil Konferensi Stockhlom telah mempengaruhi kesadaran lingkungan nasional Pemerintah Indonesia dan terasa menjiwai muatan normatif peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Lembaga-lembaga organisasi Internasional yang fokus terhadap pengelolaan lingkungan hidup antara lain: UNDP (United Nations Development Programme), Habitat (United Nations Centre for Human Settlements), UNEP (United Nations Environment Programme), the World Bank, the International Union of Local Authorities, the World Association of the Major Metrropolisises, Summit of Great Cities of the World, the United Towns Organization dan berbagai lembaga lainnya yang telah memberikan dukungan untuk memobilisasi dan mendorong aktivitas institusi pengelolaan lingkungan di daerah dengan memantapkan kerangka kerja.[3]
Di Indonesia, untuk tingkat Nasional dan lokal juga terdapat berbagai lembaga yang menangani bidang lingkungan hidup ini, dari bentuk organisasi kemasyarakatan, mahasiswa, dan pemerintah. Diantaranya: WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), FFI (Flora Fauna Indonesia), Mapala (Mahasiswa Pecinta alam), Forum Alu Mancang, Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup), dan sebagainya.
Pentingnya eksistensi dan fungsi kelembagaan wewenang pengelolaan lingkungan di daerah telah menjadi tema utama Fifth International Conference on Environmental Compliance and enforcement yang digelar pada tanggal 16-20 November 1998 di Monterey, California, Amerika Serikat (USA). Bahkan kelembagaan wewenang pengelolaan lingkungan hidup di daerah dikualifikasi sebagai fundamental aspects pengelolaan lingkungan yang dimahfumi sejalan dengan perkembangan aksentuasi decentralization dan bergesernya centralization.[4]
Dengan demikian, kelembagaan pengelolaan lingkungan adalah basis esensial pengelolaan lingkungan untuk mengoptimalisir perlindungan terhadap lingkungan hidup. Secara eksplisit untuk melakukan pengelolaan lingkungan yang efektif dan efisien yang diperlukan adalah eksistensi lembaga yang tepat dalam mengelola lingkungan yang berkesinambungan. Kontekstual dan relevanlah apabila diserukan dan diejawantahkan pemberdayaan kelembagaan pengelolaan lingkungan di negara-negara maju atau berkembang pada semua tingkatan, baik nasional maupun daerah.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang menyatakan tidak berlaku lagi UULH 1982, pembahasan mengenai kelembagaan pengelolaan lingkungan didaerah dari segi yuridis belum banyak dikemukakan. Padahal, UUPLH memberikan fokus pada pengelolaan lingkungan. Penjelasan umum angka 2 UUPLH menyatakan:
Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia.
Bila ditafsirkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam melakukan pengelolaan lingkungan yang mutlak ditegaskan adalah tentang kewenangan pengelolaan lingkungan. Namun, terjadi implikasi tentang lembaga atau instansi yang mempunyai kewenangan penuh dalam pengelolaan lingkungan, termasuk di daerah. Berkenaan dengan kelembagaan yang berwenang menangani pengelolaan pengelolaan lingkungan di daerah, pasal 12 UUPLH merumuskan panduan umum sebagai berikut:
1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan peraturan peruundang-undangan dapat:
a. Melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b. Mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bertumpu pada regulasi ketentuan pasal 12 dan 13 UUPLH, dapat dipahami tentang akan terjadinya pelimpahan wewenang, pengikutsertaan peran Pemerintah Daerah dan penyerahan urusan pengelolaan lingkungan kepada Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat. Pelimpahan pengikutsertaan dan penyerahan urusan mengenai pengelolaan lingkungan itu masih harus diatur dengan peraturan perundang-undangan, terutama yang berderajat Peraturan Pemerintah. Dalam pasal 13 UUPLH memberikan penegasan pengaturan tentang upaya penyerahan urusan pengelolaan lingkungan menjadi urusan rumah tangga (otonomi) Pemerintah daerah yang dituangkan dalam Peraturan pemerintah (PP).
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Metode Pengumpulan data
Dalam melakukan pengumpulan data, disini penulis banyak mengambil dari kumpulan artikel, karya tulis dan berbagai referensi dari buku-buku bacaan yang menyangkut dengan hukum lingkungan yang dikaitkan dalam pengelolaan lingkungan hidup, penegakan hukumnya serta mempelajari dampak dari perubhan iklim dan ­Global Warming yang terjadi, selain itu juga berdasarkan dari hasil kajian dalam beberapa kegiatan seminar yang diikuti langsung oleh penulis sendiri. Program kegiatan diskusi baik secara formal dan informal yang penulis lakukan baik dengan dosen pembimbing dan juga dengan beberapa kalangan dari akdemisi, praktisi, eksekutif dan legislatif untuk dapat meningkatkan pengalaman yang berhubungan langsung dengan praktek kehidupan sehari-hari dalam menjalankan hukum sehingga jelas kelihatan persamaan ataupun perbedaan antara praktik dan teori. Untuk mengumpulkan data, penulis langsung berkunjung ke salah satu organisasi yang memfokuskan diri terhadap lingkungan hidup yaitu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Banda Aceh. Dari sini banyak didapatkan tentang beberapa praktik pelanggaran dan kejahatan terhadap lingkungan hidup serta kritikan terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam proses pemberian perizinan.
3.2. Metode Pengolahan, Analisis data, Simpulan & Saran.
Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan berbagai data dari beberapa artikel, karangan buku, kumpulan karya ilmiah, dan beberapa kegiatan diskusi, setelah mendapatkan beberapa dasar materi, penulis mencoba melakukan pengolahan data untuk menganalisis terhadap pentingnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim dan Global Warming.
BAB IV
ANALISIS MASALAH DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA
Hukum mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan dan merupakan dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. Namun hukum bukanlah satu-satunya sarana untuk menampung kebutuhan masyarakat terhadap pemecahan masalah lingkungan, peran serta Pengadilan dan pemahaman terhadap substansi hukum lingkungan juga diperlukan. Dalam hal ini perlu kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dan keseimbangan hubungan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan serta antara hak dan kewajiban.
Hukum lingkungan merupakan hukum fungsional, karena bertujuan untuk menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah, dan nyaman bagi seluruh rakyat. Untuk fungsi itu mempunyai instrumen seperti disebutkan sebelumnya yang dipergunakan secara selektif dan kalau perlu secara stimultan[5].
Hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama adalah ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat dihimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua, adalah dimensi yang memberi hak, kewajiban, dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan. Dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang berbagai hukum klasik, yaitu hukum publik dan hukum privat. Termasuk dalam hukum publik adalah hukum pidana, hukum pemerintahan (administratif), hukum pajak, hukum tata negara dan hukum agraria.
Dalam penegakan hukum lingkungan di indonesia juga melibatkan berbagai instansi pemerintah sekaligus seperti Polisi, Jaksa, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat terutama Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, laboratorium kriminal, bahkan swasta seperti LSM (Lembagga Swadaya Masyarakat), dan lain-lain.
Penegakan hukum lingkungan sangat rumit, karena hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bidang hukum klasik. Hukum lingkungan dapat ditegakkan dengan salah satu instrumen, yaitu instrumen administratif, perdata atau hukum pidana bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus. Oleh karena itu, para penegak hukum lingkungan harus pula menguasai berbagai bidang hukum klasik seperti hukum pemerintahan (administratif), hukum perdata dan hukum pidana, bahkan sampai kepada hukum pajak, pertanahan, tata negara, internasional (publik maupun privat). Pada umumnya, masalah dimulai dari satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Berangkat dari titik ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan.
Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan, yang urutannya sebagai berikut:
1) Perundang-undangan (legislation, wet en regelgeving);
2) Penentuan standar (standard setting, norm setting);
3) Pemberian izin (licensing, vergunning verlening);
4) Penerapan (implementation, uitvoering);
5) Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandiving).
Kelima mata rantai tersebut terus berputar, dan apabila dalam praktiknya ternyata dari mata rantai ada kelemahan termasuk perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya maka yang paling jelas terlihat disini adalah penegakan hukum karena sebagai fase terakhir dan penentu untuk mewujudkan berjalannya penegakan hukum lingkungan. Hambatan lainnya bersifat alamiah; kesadaran hukum masyarakat masih rendah; belum lengkap peraturan hukum menyangkut penanggulangan masalah lingkungan, khususnya pencemaran, pengurasan dan perusakan lingkungan; khusus untuk penegakan hukum lingkungan, para penegak hukum belum mantap dan professional; permasalahan pembiayaan; dan sarana prasarana.
Oleh karena itu, jika pemerintah dan masyarakat memang ingin meningkatkan dan menggalakkan penegakan hukum lingkungan termasuk yang preventif dan persuuasif diperlukan pendidikan dan latihan para penegak hukum termasuk pejabat administrasi bahkan masyarakat luas sadar lingkungan, kemudian melakukan usaha penegakan hukum termasuk yang preventif atau penataan hukum sebagai bagian peningkatan kesadaran hukum rakyat.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang penegakan hukum lingkungan melalui ketiga intrumen yaitu, instrumen administrasi, instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana.
1.1. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi
Penegakan hukum lingkungan melalui instrumen administrasi bertujuan untuk hidup didalam lingkungan yang sehat dan tenteram. Selain itu juga bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran). Jadi, fokus sanksi administratif adalah perbuatan, sedangkan sanksi hukum pidana fokusnya adalah orangnya. Selain itu sanksi hukum pidana juga tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar).
Disamping memberi ganjaran atau ganti kerugian, juga merupakan nestapa bagi pembuat dan untuk memuaskan kepada korban individual maupun kolektif. Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif, hukum lingkungan mengenal pula sanksi sanksi administratif yang lain yaitu penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksa (dwangsom), dan penarikan izin. Tujuan paksaan administratif adalah untuk memperbaiki hal-hal sebagai akibat dilanggarnya suatu peraturan. Dalam mempergunakan instrumen administratif, penguasa harus memerhatikan apa yang disebut oleh Hukum Tata Usaha Negara sebagai azas-azas pemerintahan yang baik.
Dalam pasal 25 ayat (1) UULH menyatakan bahwa Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan menggakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain didalam undang-undang.
1.2. Penegakan Hukim Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Perdata
Sengketa perdata lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan. Jika usaha diluar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil, oleh salah satu atau para pihak dapat dapat ditempuh melalui jalur pengadilan. Kasus perdata di Pengadillan khususnya di Indonesia kurang disenangi orang karena berlarut-larutnya proses perdata di Pengadilan.
Gugatan perdata berdasarkan pasal 1365 BW, karena secara khusus telah diatur tentang ganti kerugian dan pembebanan oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan. Syarat umum yang ditentukan didalam pasal 1365 BW untuk mengajukan gugatan tentu terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan dikatakan melanggar hukum, telah diartikan luas yurisprudensi. Pengertian yang luas mengenai perbuatan yang melanggar hukum sesuai dengan hukum adat yang umumnya tidak tertulis. Beberapa kriteria yang dimaksud dengan melanggar hukum itu antara lain:
1) Pelanggaran suatu hak;
2) Perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
3) Bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Organisasi lingkungan juga dapat melakukan tuntutan berdasarkan pasal 1365 BW, dengan alasan perbuatan yang bersangkutan melanggar kepentingan masyarakat. Selain itu telah diuraikan sebelumnya, tuntutan berdasarkan pasal 1365 BW (perbuatan melanggar hukum), harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Kesalahan (schuld)
2) Kerugian (schade)
3) Hubungan kausal (cusal verband)
4) Relativitas (relativiteit)
Berdasarkan pasal 1365 BW mensyaratkan adanya kesalahan yang pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang dalam lingkungan, misalnya melanggar ketentuan tentang larangan berdasarkan undang-undang atau tidak mempedulikan ketentuan tentang perizinan. Dipandang pada umumnya melakukan kesalahan jika pembuat menolak telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka ia harus dapat membuktikan. Selain itu juga dapat dilakukan gugatan atas nama masyarakat (actio popularis) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup). Dan dalam hubungan kontrak juga dapat timbul masalah lingkungan, misalnya transaksi yang menyangkut barang bergerak yang tercemar.
1.3. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Pidana
Dalam sistem penegakan hukum nasional, pemidanaan pada asasnya tidak dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia selaku anggota masyarakat. Sebaliknya, pemidanaan adalah merupakan penegakan norma hukum demi perlindungan masyarakat sekaligus koreksi terhadap pelaku tindak pidana untuk menjadikannya orang itu baik dan berguna sehingga mampu hidup bernegara dan bermasyarakat. Pemidanaan termasuk suatu langkah penyelesaian konflik yang timbul dalam tindak pidana yang dipulihkan dan diseimbangkan kembali agar tercipta rasa tentram dan aman ditengah kehidupan masyarakat[6].
Ketentuan pidana tercantum dalam Bab IX UUPLH yang terdiri dari pasal 41 sampai dengan pasal 48. dibanding dengan ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 22 UULH, ketentuan pidana dalam UUPLH jauh lebih lengkap dan rinci. Diantaranya:
1) Delik materil, terdapat dalam pasal 41 UUPLH. dalam hal ini memuat tentang pidana penjara dan denda, berbeda dengan ancaman pidana UULH yang meliputi pidana penjara dan/atau denda.
2) Delik formil, terdapat dalam pasal 43 UUPLH. Berbeda dengan pasal 41 UUPLH yang mengatur tentang delik materil, pasal 43 UUPLH memuat delik formil yang lebih memudahkan pembuktian karena dikaitkan dengan deskripsi tindakan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. Pasal 43 ayat 2 UUPLH memuat ancaman pidana bagi pemberian informasi palsu dan hal-hal lain yang berkaitan dengan informasi, yang dapat dihubungkan dengan hak atas informasi sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 UUPLH.
3) Tanggung jawab korporasi, diatur dalam pasal 45 dan 46 UUPLH. Pasal ini mengatur tentang pengelolaan perusahan yang dapat menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan usahanya itu.
4) Tindakan tata tertib. Terdapat dalam pasal 47 UUPLH. Tindakan tata tertib yang dapat dilakukan berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang telah dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. Menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
5) Tindak pidana kejahatan. Terdapat dalam pasal 48 UUPLH.
6) Asas subsidiaritas. Dimana pemahamannya adalah azas ini berlaku jika penegakan hukum lingkungan yang telah mengalami jalan buntu pada penyelesaian tingkat administrasi, melalui jalur perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
2. Masalah Lingkungan yang Dihadapi Indonesia Saat Ini.
Banyak dan lengkapnya peraturan tentang lingkungan hidup yang ada, baik internasional atau nasional saat ini ternyata tetap membuka kemungkinan bagi adanya perusakan terhadap lingkungan. Pembangunan yang dilakukan secara spartan, terutama di kota-kota besar telah mengubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan hidup yang menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan. Hal ini mengakibatkan ketidaksesuaian pada fungsi lingkungan, yaitu fungsi daya dukung, daya tampung dan daya lenting. Seringkali proses pembangunan hanya memperhitungkan cost-benefit ratio[7] tanpa memperhitungkan social cost dan ecological cost. Mayoritas pengembang hanya menganggap lingkungan sebagai benda bebas (res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang mengakibatkan terganggunya fungsi lingkungan hidup. Di sisi lain, pihak pemerintah tidak memiliki political will dalam menjaga kelestarian lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya dijadikan sarana pengendalian lingkungan, sekarang hanya menjadi alat legalisasi pengelolaan lingkungan dan dananya dimasukkan dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pengeluaran rutin dan bukannya dimasukkan dalam alokasi dana operasional pengelolaan lingkungan. Sikap pengembang dan pemerintah yang apatis terhadap pelestarian lingkungan ini mengakibatkan banyak terjadinya kerusakan lingkungan. Contoh apatisnya kedua pihak ini adalah adanya penyimpangan lahan pertanian yang produktif atau daerah resapan air yang dijadikan areal industri, properti dan perbelanjaan. Area hutan dijadikan lahan pertanian atau perkebunan. Akibat dari penyalahgunaan tata ruang tersebut menimbulkan banjir dan pemiskinan di kawasan pedesaan karena sumber daya alamnya terkikis dan urbanisasi terjadi secara spartan dan menambah angka kemiskinan. Ketidakseimbangan pada lingkungan hidup menimbulkan ancaman yang akibatnya sudah dapat kita rasakan dari sekarang. Seperti hutan yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Citarum kini hanya tinggal 11%, dan menurut Ir. Syafi’i Manan dari Fakultas Kehutanan IPB, sisa hutan di Jawa merosot hingga 2,9 juta Ha. Di Indonesia terdapat 13 DAS yng dinilai sudah berada dalam kondisi kritis, diantaranya yaitu Cisadane, Ciliwung, Cimanuk, Citanduy, Solo, Brantas, Way Sei Putih dan lain-lain yang potensial untuk menimbulkan krisis air bersih yang sangat merisaukan.
Sedangkan dari tingkat lokal, ada beberapa kasus yang dapat penulis himpun diantaranya Kasus tambang bijih besi/emas di kawasan Lhong, desa Jantang Kabupaten Aceh Besar oleh PT Lhong Setia Mini, kasus pencemaran limbah sawit oleh PTPN IV dan Mapoli Raya di daerah Tamiang, kasus Abrasi pantai di Ujong Blang Lhokseumawe, kasus PLTA Peusangan Kabupaten Bireuen, Perambahan hutan lindung dan lain sebagainya.
Sebagai Negara kepulauan yang besar, Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim global sebagai akibat dari penggunaan energi bahan bakar fosil serta alih guna lahan dan kehutanan, yang merupakan kegiatan sumber utama gas rumah kaca terutama CO2. Akibat pemanasan global bagi Indonesia salahsatunya adalah naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan punahnya keanekaragaman hayati.
3. Pembinaan Hukum Menuju Keserasian Lingkungan
Sistem hukum diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh lingkungan hidup, dengan catatan peraturan yang dibentuk haruslah efektif dalam pelaksanaannya. Hans Kelsen dalam teori Rule of Law yang ia kemukakan, menyoroti lima aspek dari efektifnya suatu sistem hukum, yaitu :
a. Materi hukumnya
b. Aparatur penegak hukum
c. Sarana dan prasarana
d. Kesadaran hukum masyarakat
e. Budaya hukum
Penjabaran kelima aspek dari sistemnya suatu sistem hukum, sebagai berikut:
a. Materi hukum.
Materi hukum dalam berbagai macam peraturan lingkungan hidup baik lokal ataupun internasional telah memandang lingkungan sebagai subjek hukum, yaitu sebagai pemilik dari hak dan kewajiban, maka lingkungan memiliki hak yang sama dan memiliki kepentingan hukum yang sama dengan manusia sebagai individu. Undang-undang di bidang lingkungan hidup kontemporer dibuat dengan pendekatan kepastian ilmiah (scientific certainty), yaitu peran penelitian dan ilmuwan ahli lingkungan sangat diperlukan dalam menunjang penegakan hukum lingkungan. Sesuai dengan perkembangan hukum lingkungan modern yang berorientasi pelestarian, maka pengaturan yang ada harus menggeser paradigma homo centris dan use oriented menjadi eco sentris dan ecological oriented.
b. Aparatur penegak hukum.
Adanya beberapa pelanggaran dan kejahatan terhadap lingkungan hidup yang lolos dari jerat hukum adalah buah dari kurang siapnya aparat penegak hukum kita. Mayoritas hakim saat ini adalah lulusan Fakultas Hukum sebelum tahun 1975, dimana pada tahun tersebut mata kuliah Hukum Lingkungan belum menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa hukum. Maka diperlukan pemahaman yang dalam bagi para aparat penegak hukum akan urgensi penegakan hukum lingkungan saat ini, dengan adanya pelatihan-pelatihan bagi hakim, jaksa, pengacara, polisi dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan aparat penegakan hukum lingkungan.
c. Sarana dan prasarana
Penegakan hukum sangat bergantung pada sarana yang ada, dalam hal ini berarti perangkat pendukung berupa lembaga-lembaga pengawasan lingkungan hidup harus ada dan ditingkatkan fungsinya. Lembaga pemerintah seperti Kementrian KLH, Bappedal, dan BPLHD di tiap daerah dan segi harus dioptimalkan peranannya. Demikian pula diperlukan kontrol yang seimbang dari lembaga-lembaga independen, seperti LSM-LSM lingkungan, kalangan akademisi kampus maupun kaum professional.
d. Kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat
Kesadaran harus dimulai sejak awal dan dimulai dari hal-hal yang kecil. Berbeda dengan kesadaran hukum yang yang bersifat individu, budaya hukum berkaitan erat dengan cara pandang masyarakat terhadap lingkungan hidup. Budaya ini bukanlah terbentuk dengan sekejap, melainkan diperlukan waktu yang lama melalui pembinaan yang berkesinambungan, kontinyu dan konsisten. Pembinaan ini bukan kerja satu pihak saja, seperti kerja Kementian KLH saja, namun kerja bersama dan sinergis antara masyarakat, pemerintah, aparat dan setiap insan yang tinggal dalam planet ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Kita semua sepakat bahwasanya lingkungan hidup harus tetap terjaga dan dikelola secara profesional. Pengelolaan lingkungan hidup yang tidak tepat sasaran, terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tidak bisa terselesaikan hanya dengan sosialisasi dan kampanye-kampanye untuk melestarikan lingkungan. Tetapi dibutuhkan suatu bentuk sistem hukum yang mampu menafsirkan permasalahan lingkungan dan ketegasan aparat penegak hukum dengan kapasitas ilmu pengetahuan terhadap lingkungan hidup ini yang baik, sehingga melalui langkah penegakan hukum ini akan mampu mengatasi dampak perubahan iklim dan global warming.
Hukum lingkungan merupakan hukum fungsional, karena bertujuan untuk menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah, dan nyaman bagi seluruh rakyat. Untuk fungsi itu mempunyai instrumen seperti disebutkan sebelumnya yang dipergunakan secara selektif dan kalau perlu secara stimultan. Penegakan hukum lingkungan sangat rumit, karena hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bidang hukum klasik. Hukum lingkungan dapat ditegakkan dengan salah satu instrumen, yaitu instrumen administratif, perdata atau hukum pidana bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus.
Sistem hukum diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh lingkungan hidup, dengan catatan peraturan yang dibentuk haruslah efektif dalam pelaksanaannya. Hans Kelsen dalam teori Rule of Law yang ia kemukakan, menyoroti lima aspek dari efektifnya suatu sistem hukum, yaitu :
a. Materi hukumnya
b. Aparatur penegak hukum
c. Sarana dan prasarana
d. Kesadaran hukum masyarakat
e. Budaya hukum
2. SARAN
1) Pemerintah harus berupaya maksimal untuk meningkatkan kompetemsi aparat penegak hukum dalam menangani kasus lingkungan hidup seperti Polisi, Jaksa, Hakim;
2) Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan terkait dengan lingkungan hidup seperti di Dinas Kehutanan, Pertambangan, Kelautan dan Perikanan, dan sebagainya guna berperan aktif sebagai ahli dalam pengelolaan lingkungan hidup;
3) Sosialisasi tentang dampak perubahan iklim dan global warming disampaikan juga pada saat ceramah agama, pembuatan baliho didaerah rawan terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan dengan mencantumkan ancaman hukumannya;
4) Sebagai solusi yang relevan untuk memperkecil resiko dan dampak yang timbul dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDA adalah sebagai berikut.
a. Pengusaha dalam melakukan kegiatannya selalu berusaha menggunakan teknologi tinggi akrab lingkungan yang dirumuskan sebagai Teknologi Proaktif yang didasarkan pada konsep penggunaan kembali(reuse), pendaur-ulangan (recycle), pemanfaatan kembali (recovery), pengambilan kembali (recuperation) dan penataan kembali (remediation);
b. Pemerintah sebagai pengawas bersifat proaktif, tegas dan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat;
c. Peran serta aktif masyarakat. Sehingga, apa yang ada di dalam kajian Amdal tersebut tidak hanya menjadi kajian di atas kertas yang selama ini merugikan masyarakat dan lingkungan, tetapi lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan itu sendiri.


[1] Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, Penegakan HUkum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika
[2] Dr. H. Suparto Wijoyo, S.H., M.H, Hukum Lingkunga: Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan di daerah.Airlangga University press kerjasama Mitra Otonomi Daerah (MODA) Center Surabaya. Hal.130
[3] Declaration Johannesburg Mengenal Pembangunan Berkelanjutan dan rencana pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan Berikut Komitmen Sektoral Nasional, dalam hasil WSSD di Direktorat Jenderal Multilateral ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 2002. hal.519
[4] Jo Gerardu & Cherryl Wasserma (ed.), Fifth International Conference on Environmental Compliance and Enforcement, Conference Proceedings, volume 1, November 16-20, 1998, Mnonterey, California, USA, hal.7 dan 515-517.
[5] Th. Drupteen & C.J. Kleijs Wijnobel. Handhaving van Milleu Door Middel van Civiel, Administratief Strafrecht. Opstellen over het milleu strafrecht, hlm. 35
[6] Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan; konservasi hutan, hlm18
[7] Daud Silalahi, op.cit, hlm 4

1 komentar:

imadueckert mengatakan...

J-League Betting - JM Hub
J-League betting 경상북도 출장마사지 at J-League. The team that 속초 출장샵 won 안양 출장샵 this tournament is the J-League's new 오산 출장마사지 affiliate with the league's biggest 세종특별자치 출장샵 affiliate. J-League