Selasa, 03 Agustus 2010

MENGOPTIMALISASI POTENSI PULAU TERLUAR DEMI TERJAGANYA KEUTUHAN WILAYAH NKRI
DI-PROVINSI NAD.
Aceh merupakan salah satu provinsi ujung barat dari Republik Indonesia, yang menjadi tempat yang sangat strategis dan kaya akan sumber daya alamnya. Dengan kekayaan sumber daya alam ini, maka tidak mustahil para investor melirik Aceh untuk dapat melakukan kegiatan baik itu eksplorasi dan maupun mengeksploitasi sumber daya alam di Aceh dan tentunya ini dengan izin pemerintah pusat.
Tidak bisa kita pungkiri juga bahwasanya dengan letaknya yang paling ujung barat di Indonesia, banyak pulau-pulau terluar yang ada belum dioptimalkan secara terkuat dan terpenuh, sehingga menjadikan pula-pulau tersebut menjadi daerah yang rawan dan bahkan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri apabila masih kurang dalam perhatian pemerintah. Pengalaman telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia atas lepasnya pulau Sipadan-Ligitan ke tangan Malaysia yang telah diputuskan oleh Hakim pada Mahkamah Internasional. Berangkat dari berbagai aspek kerentanan dan keamanan pulau-pulau terluar ini, maka diharapkan perhatian pemerintah untuk lebih serius menangani pulau-pulau terluar ini, dengan menjadikannya sebagai ujung tombak dalam menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia, bukan sebaliknya dengan menganggap sebagai pulau terluar yang selama ini terasa di kesampingkan dan mendapat kurang perhatian untuk merawat, menata dan menjaga untuk mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam pulau tersebut. Secara umum dapat dilihat bahwasanya Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 km, beberapa pulau diantaranya merupakan pulau-pulau kecil dan pulau kecil perbatasan. Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan beberapa negara tetangga, sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara dan Pulau Rondo di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masuk dalam wilayah Kota Sabang, adalah salah satu pulau kecil perbatasan yang berbatasan langsung dengan Republik India. Secara Geografis, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak dibagian ujung Utara Pulau Sumatera pada posisi 20- 60 Lintang Utara dan 950 – 980 Bujur Timur. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas wilayah daratan 57.366 km2 dan wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Exclusif (ZEE) seluas 534.520 km. 

PENGEMBANGAN KESADARAN & SISTEM HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DAN MAFIA PERADILAN MELALUI HUKUM PROGRESIF

”PENGEMBANGAN KESADARAN & SISTEM HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DAN MAFIA PERADILAN MELALUI HUKUM PROGRESIF”
ABSTRAK
Produk Hukum Progresif adalah sebuah model alternatif dalam pembaharuan, pembangunan, pengembangan kesadaran dan sistem hukum Nasional. Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan hukum adalah perumusan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-undangan sekaligus penegakan hukumnya sehingga akan menampakkan secara jelas mengenai bagaimanakah hukum kita dimasa depan.
Tidak dapat kita pungkiri lagi cara menjalankan hukum di negeri kita amat tidak memuaskan, hal itu terlihat dari cara berpikir yang masih positivistis dogmatis. Sehingga dalam menjalankan hukum masih berkutat pada praktik kutak-katik rasional mengenai peraturan, prosedur, asas, dan kelengkapan hukum lainnya. Hukum belum dijalankan secara bermakna. Proses hukum cenderung menjadi ajang mencari menang di atas pencarian keadilan.
Pasca reformasi 1998, Indonesia kini berada pada masa transisi. Mencermati carut marut pembangunan hukum masa lalu dan didorong niat untuk memberikan alternatif dalam memikirkan secara komprehensif jalan keluar dari keterpurukan Indonesia sekarang ini, maka sangat pentingnya pembangunan hukum yang berproduk progresif. Alasannya bahwa masyarakat sudah tidak bisa lagi mempercayakan penyelenggaraan hukum negeri ini dengan cara-cara konvensional seperti selama ini.
Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behaviour). Disini, Hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku namun juga sekaligus sebagai peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistem hukum positif, sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah atau akan terbangun itu.
Semakin majunya suatu bentuk kejahatan, maka tuntutan untuk membentuk hukum yang lebih maju juga harus dapat membentengi praktik kejahatan itu. Kejahatan tersebut antara lain praktik Korupsi dan Mafia Peradilan yang modus operandinya dilakukan oleh kalangan orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai kekuasaan. Tapi sayang, moral atau etika sangat kurang. Hukum progresif memberi pedoman dalam pelaksanaan hukum yang mampu berpikir kedepan selangkah lebih maju guna mengungkap tabir Korupsi dan praktik mafia peradilan.
Praktik korupsi yang terjadi di Indonesia telah membuat posisi Indonesia semakin terpuruk dalam lingkungan pergaulan masyarakat internasional sebagai salah satu negara yang pemerintahannya terbesar melakukan praktik korupsi. Untuk mengatasi permasalahan korupsi, telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan lembaga ini merupakan titik kulminasi tuntutan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini sangat meresahkan dan menghambat pencapaian kesejahteraan masyarakat. Walaupun sudah membentuk lembaga khusus yang menangani kasus Korupsi ini disamping ada Kepolisian dan Kejaksaan, tetapi masih ada saja para koruptor yang terus menerus menggerogoti uang publik yang belum tersentuh hukum, bahkan ironisnya lagi bisa terbebas dari jeratan hukuman karena penemuan hukum yang dilakukan masih berbeda dalam menginterpretikannya.
Praktik mafia peradilan juga praktik korupsi, orang yang melakukan korupsi sangat membutuhkan mafia peradilan untuk terbebas dari tuntutan hukum. Artinya orang tersebut telah melakukan kesalahan tambahan yang melawan hukum dengan bersekongkol dengan aparat penegak hukum. Inilah yang selalu menjadi kendala utama dalam pemberantasan Korupsi. Hukum Progresif akan dapat mengatasinya dimana hukum progresif yang memberikan pandangan bahwasanya dalam menjalankan hukum harus dimulai dari hati nurani terlebih dahulu dengan moral atau etika para penegak hukum yang baik. Tanpa itu, sesempurna apapun peraturan itu dibuat, peraturan itu hanya akan menjadi macan ompong. 
 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Carut marutnya proses penegakan hukum di Indonesia menjadikan faktor utama buruknya penilaian masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia. Hal ini bukan hanya dinilai oleh masyarakat Indonesia, tetapi komunitas Internasional juga angkat bicara menilai carut marutnya proses penegakan hukum di Indonesia. Korupsi dan mafia peradilan adalah program utama yang harus diperbaiki untuk mengembalikan citra hukum karena sudah menjadi penyakit utama yang sangat kronis. Wacana publik mengenai penegakan hukum positif dalam konteks politik, sosial dan budaya serta keterkaitannya dengan pembangunan segala sektor telah mewarnai dinamika hubungan internasional. Ketika negara-negara makmur di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapore & Fhilipina menerapkan Sistem Anglo Saxon dan Indonesia dengan Sistem Eropa Kontinentalnya terdesak oleh kemajuan teknologi dan informasi begitu cepat hasil ciptaan negara-negara maju dari Amerika dan Eropa, sehingga sangat rentan melahirkan tindak kriminal yang sophisticated (ahli dan berpengalaman) yang seakan-akan tidak ada penangkalnya sama sekali. Dan hukum hari ini terkesan terlambat mengantisipasi masalah-masalah tersebut. Namun tentu saja persoalan ini memiliki dimensi, aplikasi ditambah kondisi yang berbeda dari masing-masing negara dalam menjawab tantangan tersebut khususnya bagi negara-negara yang disebutkan tadi, dimana pemerintahannya selama ini dipandang sebagai negara yang masih dalam tahapan membangun demokrasi dan belum sempurna dalam penanganan hukum. Indonesia yang dirasa kurang optimal dalam penegakan hukum mendapat catatan merah dimata internasional. Kurang optimalnya penegakan tindak pidana korupsi, mafia peradilan, aksi kekerasan dan perlindungan HAM di Indonesia bisa kita saksikan dalam berbagai macam kasus yang tersiar ditelevisi dan surat kabar dalam bahkan luar negeri.
Hukum adalah refleksi dari norma yang hidup di masyarakat, artinya segala sesuatu yang terkait dalam dinamika kehidupan, harus dilandasi dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penerapannya, hukum belum dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Masyarakat menjadi kurang simpatik seiring dengan perjalanan lembaga peradilan dalam menjalankan hukum. Dan lembaga peradilan dalam memberikan solusi terhadap problematika hukum saat ini, belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dengan carut marutnya peradilan yang ditandai dengan intervensi pihak asing dan berbagai aktifitas media. Masyarakat pun menilai bahwa supremasi hukum sama sekali belum tercapai. Imbasnya, para penegak hukum kita dipandang kurang berwibawa karena ulah oknum yang menjadi mafia peradilan yang harus segera dibenahi melalui peningkatan kesadaran hukum dari penegak hukum guna terwujudnya pembangunan sistem hukum yang bersifat progresif.
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law lebih bersifat formalitas, artinya segala sesuatu berdasarkan atas peraturan. Peraturan-peraturan yang ada sekarang pun banyak mengalami kecacatan yang dapat dilihat dari banyaknya penyimpangan yang terjadi dan bahkan antar peraturan saling berbenturan. Ini menandakan bahwasanya peraturan saja tidak cukup menjadikan dasar dalam era penegakan hukum yang bercita-cita untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum.
Hukum tidak hanya merupakan unsur "tekstual" saja, yang dipandang dari kacamata Undang-undang. Namun hukum juga merupakan unsur "kontekstual", yang dapat dilihat dari prespektif yang lebih luas. Hukum bukanlah robot yang hanya diperintah begitu saja. Dalam kompleksitasnya, kita sebagai masyarakat hukum masih menggantungkan keputusan-keputusan yang akan diambil sewaktu menghadapi suatu perkara.
Permasalahan penegakan hukum sekarang adalah bagaimana hukum itu bisa terus mengikuti perkembangan zaman. Dengan adanya gagasan hukum progresif ini kita tidak perlu panik akan maraknya kejahatan yang sangat modern sekalipun. Seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tingkatan pendidikan yang tinggi dan mempunyai jabatan, mafia peradilan yang mahir memainkan hukum sehingga sangat susah untuk membuktikan hal tersebut kalau hanya menggali peraturan perundang-undangan saja. Karena hukum progresif tidak terbatas pada peraturan perundang-undangannya saja dan inilah kelebihan hukum progresif itu.
Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hasil kesepakatan-kesepakatan yang disusun oleh lembaga Legislatif dan eksekutif berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mereka. Namun, disini ditemukan terjadi pergeseran paradigmatik dalam memulai pembuatan peraturan perundang-undangan, karena banyaknya kepentingan yang beragam. Sebagai negara yang demokrasi tentunya kita sangat menghargai perbedaan pendapat tersebut. yang patut diperbaiki adalah terjadinya konspirasi untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang membuat peraturan yang mementingkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Kurang optimalnya fungsi institusi-institusi negara yang berwenang menjadikan faktor utama terhambatnya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut diakibatkan karena institusi-institusi tersebut terjebak dalam alasan prosedural hukum, politik birokrasi, tidak adanya good will dan aksi saling lempar tanggung jawab.[1]
Fakta menunjukkan bahwa, pada saat hukum negara (hukum tertulis) yang didasarkan pada ajaran positivisme hukum tidak dapat secara efektif digunakan untuk mengatasi masalah yang bersifat multi dimensial di Aceh, maka hukum adat Aceh sebagai the living law mampu menyelesaikannya.
1.2.1. Keadilan, Ketertiban dan Kepastian Hukum.
Tugas berat yang harus dipikul oleh para ahli hukum adalah dalam menyelaraskan ketiga kata tersebut yaitu untuk mencapai suatu keadilan yang menjadi nilai tertinggi dalam suatu putusan dengan adanya ketertiban dalam peyelenggaraannya tanpa ada penyimpangan dan intervensi dari pihak asing sehingga terciptanya suatu kepastian hukum untuk dapat dijalankan.
Keadilan menjadi agenda utama dalam proses pelaksanaan tersebut, karena untuk menuju terbentuknya suatu keadilan timbul dari hati nurani yang akhirnya berusaha untuk menemukan dan mewujudkannya pada putusan akhir berdasarkan peraturan yang ada. bukan sebaliknya, yaitu memulai suatu proses dengan mencari peraturan terlebih dahulu kemudian baru mencocokkannya dengan kasus yang ada tanpa menilai secara mendalam dengan hati nurani yang akhirnya menyebabkan timbulnya penegakan hukum yang rigid atau kaku.
Ketertiban hukum adalah suatu proses yang sarat nilai wibawa dan disiplin. Ketertiban ini jangan dipandang suatu proses yang kaku, tetapi jalan yang dilalui untuk menuju suatu keadilan dan kepastian hukum yang akan dicapai. Campur tangan pihak asing dalam suatu pengadilan sangat mempengaruhi ketertiban hukum.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut faktor kepastian hukum menjadi berarti jika putusan itu dijalankan dengan hati nurani para penegak hukum dengan mengandalkan konsep moral dan etika sehingga terlihat jelas bahwasanya hukum berperan penting dalam masyarakat dan akhirnya supremasi hukum benar-benar bisa ditegakkan. Tentunya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak hanya diam dalam mengawal tingkatan model etika dan moral yang dijalankan oleh para penegak hukum sesuai dengan profesi yang diembannya.
Penegakan hukum yang mencapai nilai keadilan, keterttiban dan kepastian hukum belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia hukum dirasakan belum memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap HAM khususnya terhadap masyarakat masyarakat kecil dan tidak mampu. Penegakan hukum dan kepastian hukum masih melihat status sosial seseorang, demikian pula pelaksanaan putusan pengadilan yang seringkali hanya memihak pada pihak yang kuat dan penguasa[2].
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan hukum progresif dalam memberantas korupsi dan mafia peradilan yang sangat marak di Indonesia. Dengan memahami proses dan tata cara pelaksanaan hukum progresif ini, para penegak hukum dan semua elemen masyarakat lebih berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Disamping memberikan pencerahan kepada para penegak hukum terutama untuk dapat menjalankan hukum yang berawal dari hati nurani berdasarkan etika dan moral yang baik. Dengan mengedepankan hati nurani, etika dan moral tersebut diharapkan dapat mengurangi kesempatan melakukan kecurangan dengan menafsirkan hukum dengan berpegangan pada peraturan-peraturan saja.
Tulisan ini juga mengajak pembaca berpikir bahwa akhirnya pengaturan oleh hukum tidak menjadi sah semata-mata karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Disini diajukan pendapat filsafat, hukum hendaknya bisa memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya.
Dengan adanya tulisan ini kiranya mampu memberikan pencerahan dalam perkembangan hukum Indonesia yang mengedepankan kesadaran hukum yang berdasarkan hati nurani yang baik, sehingga hukum tidak lagi dipandang sebelah mata ataupun menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat pada umumnya yang berjuang mencari keadilan. Selain itu juga dapt merubah citra penegakan hukum di Indonesia yang semata-mata masih bersandarkan pada peraturan perundang-undangan saja ataupun melihat hitan putihnya. Akhirnya kita harus kembali lagi memahami makna: ”meskipun esok langit akan runtuh, hukum tetap ditegakkan”.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. HUKUM PROGRESIF
2.1.1. Memahami Hukum Progresif
Etika atau moral menjadi dasar pembangunan hukum progresif dimasa depan. Kriteria yang terkandung dalam hukum progresif yang dimaksud oleh Satjipto Rahardjo adalah[3]:
  1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia;
  2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat;
  3. hukum progresif adalah hukum yang membebaskan, meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik, melainkan juga teori;
  4. Bersifat kritis dan fungsional, oleh karena itu ia tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya.
Sehubungan dengan poin-poin unsur kandungan hukum progresif diatas, hal yang paling penting dalam hukum progresif adalah urgensi etika moral dalam pembangunan Hukum Progresif dimasa depan. Hal ini penting guna mencari jati diri hukum nasional Indonesia yang selama ini tidak begitu jelas sebagai akibat berbagai pengaruh eksternal yang makin lama makin sulit dibendung, jika secara internal tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan memfilternya.
Dengan memahami adanya kekuatan-kekuatan diluar hukum formal itu yang bekerja secara positif-produktif, sebaiknya kita dengan cerdas melibatkan dan mengajak peran serta seluruh elemen masyarakat. Dari kacamata ini, negara hukum terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada dan menjadi urusan peraturan undang-undang saja.
Maka, kata kunci disini adalah kemauan dan tekad kita untuk tidak membiarkan negara hukum terpuruk hanya karena kita menyerahkannya menjadi urusan Undang-undang. Bila undang-undang gagal, buntu, atau macet, maka kemauan dan tekad itulah yang akan berusaha menolongnya.
Kekuatan progresif melalui pendekatan dan peran seluruh elemen masyarakat ini tidak sama sekali keluar dari Undang-undang, tetapi membaca ulangan dokumen itu secara lebih bermakna. Justru yang akan ”membunuh” produktivitas negara hukum adalah sikap yang dikenal sebagai formalisme.
Segalanya terpulang pada kemauan kita sendiri. Apakah kita ingin berjaya atau terpuruk dan menyerah. Negara hukum tidak sama dengan negara Undang-undang, tetapi juga negara dengan tekad masyarakatnya untuk menata diri sendiri[4].
2.1.2. Pembenahan Sistem Hukum Ke Arah Yang Progresif
Usaha kita untuk terus berbenah menuju hukum yang progresif tentunya tidak mudah, mengingat ide baru ini harus mampu masuk dan memberikan pemahaman kepada setiap elemen masyarakat yang akrab maupun yang masih kurang akrab dengan hukum.
Kewaspadaan dan kesadaran bahwa hukum tidak otomatis menghasilkan keadilan, tetapi juga sebaliknya. Para koruptor sangat piawai dalam menyewa advokasi untuk meloloskan diri dari ancaman pengadilan tindak pidana korupsi. Yang lebih menyakitkan, manuver itu dijalankan atas nama hukum, supremasi hukum, sesuai proseedur dan terus dengan berbagai alasan. Padahal disini hukum telah digunakan menyimpang dari otensitasnya. Karena itu kita dapat berkata, hukum ditentukan oleh itikad yang otentik untuk menjalankannya.
Kita tidak bisa serta merta memberikan pengertian sistem dan pengertian hukum dengan menggabungkan apa adanya. Karena dalam ilmu hukum mempunyai bentuk pengertian yang spesifik. Menurut Friedman, sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum[5].
Pada unsur pertama, legal structure atau struktur hukum yang merupakan institusionalisasi ke dalam entitas-entitas hukum, seperti struktur pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat baning dan pengadilan tingkat kasasi, jumlah hakim serta integrated justice system. Yang perlu ditegaskan bahwasanya hukum memiliki elemen pertama dari sistem hukum adalah struktur hukum, tatanan kelembagaan, dan kinerja lembaga. Jika dikaitkan dengan maraknya mafia peradilan yang terjadi membuat citra buruk peradilan semakin tinggi dimata masyarakat, sehingga rasa kepercayaan untuk menemukan keadilan pada lembaga peradilan semakin lemah. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tempat mengadu dan mendapatkan keamanan malah menjadi momok yang menakutkan jika seseorang ingin berhadapan dengan pengadilan, walaupun hnya dimintai keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara tertentu. Pengadilan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat karena kurang menyerap aspirasi dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh Pengadilan sebagai corong undang-undang tidak lebih tidak kurang, akhirnya timbullah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship) oleh karena ia memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Dengan melihat perkembangan dinamika masyarakat tersebut maka semestinya Pengadilan juga mengubah perannya dari semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan lebih dari itu bahwa Pengadilan hendaknya mampu menyuarakan golongan-golongan yang tidak terwakili.
Kedua, substansi hukum. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu. Untuk mengelaborasi pengertian substansi tersebut dibutuhkan suatu ketelitian dan pengamatan yang mengedepankan hati nurani, bukan hanya terpaku pada hal yang paling substansial saja. Karena aturan yang telah dibuat tersebut tidak bisa digaransikan untuk mendapatkan suatu keadilan. Disinilah pentingnya pemikiran yang progresif guna mendatangkan konsep yang win-win solution. Para penegak hukum hendaknya tidak membatasi diri pada konsep formalitas semata atas apa yang sudah diatur, tetapi pelaksanaannya mesti mengikuti arah perkembangan zaman dan dinamika kehidupan masyarakat bukan sebaliknya lebih bersifa rigid (kaku).
Ketiga, unsur budaya (legal culture). Yang dimaksud dengan budaya hukum merupakan sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum bersama, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif.
Setiap Negara mempunyai budaya yang berbeda terkait dengan penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan bidang hukum. Memang menarik bila menilik faktor budaya karena memiliki implikasi yang luas pada berbagai aspek kehidupan. Sebagai contoh, budaya orang Amerika yang selalu memperkarakan segala sesuatu secara hukum (litigous society), tanpa segan-segan terhadap hubungan kekeluargaan misalnya seorang anak memperkarakan orang tuanya atau sebaliknya. Namun, hal ini sangat jarang kita rasakan di Indonesia mengingat perilaku masyarakat yang berdasarkan kepada kekeluargaan yang sangat menjaga nama baik keluarga walau seburuk apapun. Bahkan yang biasanya pengadilan dibuka dan terbuka untuk umum, proses persidangannya bisa ditutup karena suatu permasalahan dalam rumah tangga demi menjaga aib dan nama baik suatu keluarga yang sedang berselisih paham. Dalam penyelesaian sengketa, di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu, anatra lain kompromi dan perdamaian yang sangat dikedepankan dan mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat Indonesia yang nilai-nilainya cenderung untuk memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas, kekeluargaan serta menghindari sengketa-sengketa. Tetapi unsur ini justru dinodai dengan timbulnya konflik di Indonesia, seperti permasalahan konflik antar etnis, konflik antar agama, isu pemekaran dan pemecahan wilayah. Beruntung masih budaya Indonesia terus saja meredam aksi-aksi tersebut yang pecah dalam bentuk tindakan anarkis apabila sudah tidak terkendali lagi dan bahkan hukum menjadi tidak berfungsi saat situasi kritis sehingga budaya Indonesia berupaya mengembalikan pada tingkat stabilitas yang benar-benar aman dan semu. Budaya ini sudah berakar dan menjadi perilaku mendasar yang ada pada bangsa kita jika dikaji secara historis dan antropologis yang kuat.
Ketiga faktor tersebut tentuya menjadi pijakan dasar bagi setiap elemen dalam keppentingan hukum unuk memposisikan dirinya secara profesional dan menilai dengan hati nurani dalam setiap permasalahan. Untuk mengubah hal itu semua dibutuhkan tekad dan keberanian serta dukungan dari semua pihak. Bukan hanya mengeluarkan retorika dan statement yang saling menghujat bahkan menjatuhkan, tetapi bagaimana bisa memahami setiap kelemahan tersebut dan bersama-sama untuk membenahinya. Kesadaran ini bisa tumbuh jika semua unsur mau berbaik sangka pada awalnya dan mencari jawaban dengan pertimbangan aspek keyakinan yang berhati nurani.
Marilah saatnya kita mulai berbenah untuk merubah pola dalam tata cara pelaksanaan hukum di Indonesia kearah yang lebih maju, tentunya institusi Pendidikan merupakan saham yang terbesar dalam mewujudkan hal tersebut.
2.2. KORUPSI
2.2.1. Pengertian dan Latar Belakang Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
  • Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  • Lemahnya ketertiban hukum.
  • Lemahnya profesi hukum.
  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
  • Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
  • Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Bentuk bentuk Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campur tangan, dan penipuan. Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad): Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss. Menurut survei yang sama, tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad): Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina.
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut.
2.2.2. Jenis-Jenis, Ciri-ciri Korupsi dan Siapa Saja Yang Bisa Disebut Koruptor
Berniveste dalam bukunya bureaucracy (1991), membagi korupsi dalam 4 jenis, yaitu: discretionary corruption (korupsi sekehendak hati), illegal corruption (Korupsi secara illegal), mercenary corruption (korupsi yang hanya berpikir soal uang), dan ideological corruption (korupsi dalam bentu paham politik).
Namun, penulisan ini tidak akan membahas tentang pendapat tersebut, namun akan lebih terfokus pada jenis-jenis korupsi yang sudah diatur secara tegas dalam hukum kita. Seseorang disebut koruptor apabila telah melakukan salah satu perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi.
Jenis-jenis korupsi dapat berupa pemberian gratifikasi dan suap.
Berdasarkan penjelasan pasal 12 B Undang-Undang no.31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri maupun diluar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan saran elektronik atau tanpa sarana elektronik. Gratifikasi merupakan setiap penerimaan seseorang dari orang lain yang bukan tergolong ke dalam tindak pidana (suap).
Suap adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 5, pasal 6, pasal 11, pasal 12 huruf a,b,c,d, dan pasal 13 Undang-Undang no.31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001. Suap merupakan gabungan dari gratifikasi yang diberikan kepada seseorang mengingat karena jabatannya guna memudahkan suatu urusan. Artinya gratifikasi kepada pegawai negeri/penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan/kedudukannya dianggap sebagai suap.
Ciri-ciri Korupsi:
  • Dilakukan lebih dari satu orang;
  • Merahasiakan motif;
  • Ada keuntungan yang ingin diraih;
  • Berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan tertentu;
  • Berlindung dibalik pembenaran hukum;
  • Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum;
  • Mengkhianati kepercayaan.
2.2.3. Berbagai Pandangan Tentang Korupsi
Ketua KPK membedakan korupsi atas dua jenis, korupsi karena kebutuhan (need corruption) dan korupsi karena kerakusan (greedy corruption). Korupsi yang pertama terjadi terutama karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS), terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah. Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan sistem PNS itu sendiri. Ini termasuk upaya pencegahan korupsi yang merupakan tugas KPK. Sementara, korupsi golongan kedua lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Di Indonesia banyak korupsi yang “terpaksa” dilakukan karena kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun korupsi karena ketamakan cukup banyak juga. Biasanya korupsi jenis pertama ini jumlahnya tidak besar dibandingkan korupsi jenis kedua.
Dalam situasi yang demikian itu, analisis rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sebuah apologi yang tepat. Bila hal ini disosialisasikan secara luas, banyak orang akan mendapatkan bahan bakar untuk kendaraan apologinya. Artinya, akan banyak orang berpikir bahwa korupsi adalah sebuah pintu darurat selama pemerintah belum mampu menjamin kesejahteraan mereka. Padahal rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sesuatu yang masih bisa diperdebatkan. Perlu diperhatikan bahwa para pelaku korupsi itu tidak sekadar mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, tapi jauh melebihi hal itu.
Meratanya korupsi di semua bidang dan tingkatan adalah sumber apologi lain. Banyak orang mengeluh bahwa dia terpaksa ikut terlibat korupsi karena semua orang terlibat. Keterlibatan semua orang itu membuat dia harus pula mengikutinya kalau tidak ingin dikucilkan atau bahkan dimusuhi. Namun, sebenarnya banyak juga yang lebih ringan pertimbangannya, kalau semua orang terlibat, mengapa pula saya perlu mengambil posisi 'bodoh' dengan tidak ikut terlibat. Dua jenis pemikiran apologis ini membuat korupsi itu jadi sebuah lingkaran setan.
Perilaku korupsi bisa diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan. Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural yang strukturalist, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal (kelurahanisasi" semua desa-desa adat di nusantara), menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi. Bisa saja hal itu dikatakan untuk menjelaskan hal yang kita benci dan akan kita jinakkan. Menghilangkan korupsi bukanlah perkara gampang karena ia telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana di negeri kita ini. Tidak semua orang rela jalan pintasnya untuk kaya diungkit-ungkit. Adalagi yang menjelaskan mereka korupsi kecil-kecilan karena terpaksa oleh keadaan. Gaji kecil yang tidak mencukupi untuk hidup yang layak dari bulan ke bulan menjadi alasan untuk membenamkan diri. Apalagi kalau hampir semua orang di tempat itu telah menganggap hal itu adalah hal yang biasa. Tahu sama tahu, untuk tidak mengatakan atasan mereka juga melakukan hal yang sama[6].
2.3. MAFIA PERADILAN
2.3.1. Pandangan Umum Terhadap Mafia Peradilan
Istilah “mafia peradilan” mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Istilah ini dilontarkan untuk menggambarkan proses penegakan hukum yang dapat dibeli dan dibelok-belokkan mulai dari tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung. Kegiatan tersebut begitu tersistematis, sehingga analog dengan apa yang terjadi di Italia, merupakan mafia peradilan[7].
Sedangkan dalam Pelatihan Anti Mafia Peradilan yang diselenggarakan KP2KKN dirumuskan definisi mafia peradilan sebagai “perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan[8]”.
Kegiatan mafia peradilan secara yuridis sangat kental dengan tindak pidana korupsi sebagai mana diatur di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, ketika seorang hakim menerima suap untuk merekayasa putusan, maka hal itu dapat dijerat menggunakan pasal 12 C UU No.31 tahun 1999 jo. UU. No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana pernjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Kamal Firdaus (mantan direktur ICM) menyebutkan beberapa penyebab terjadinya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Pengadilan antara lain disebabkan.
  1. Rekruitmen hakim masih diwarnai praktek KKN;
  2. Mentalitas, integritas dan profesionalitas hakim yang masih jauh dari harapan masyarakat terutama harapan para pencari keadilan;
  3. Promosi dan mutasi hakim masih diwarnai KKN;
  4. Banyak yang justru merasa berkepentingan dan/ atau diuntungkan dengan terjadinya praktek korupsi/kolusi dalam proses peradilan dan/ atau di lembaga pengadilan kita, sehingga perlu dilestarikan. Hal ini diperparah dengan masih minimnya pengetahuan masyarakat umum terhadap hukum sehingga mereka mudah dipermainkan oleh calo-calo perkara.
Seorang hakim yang datang dengan determinasi penuh untuk memberantas korupsi akan membaca fakta dipersidangan secara beda daripada hakim liberal yang menjaga status quo. Hal itu dapat terjadi karena sejak semula hakim progresif memiliki predisposisi psikologis berupa komitmen, determinasi, dan keberanian (dare) melawan korupsi yang menggerogoti bangsanya. Indonesia kini membutuhkan hakim-hakim seperti itu, dan bagaimana kita memperkuat mereka.[9]
2.3.2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan.
Ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang acap terjadi di peradilan Indonesia. Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. "Kalau ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu. Modus kedua, manipulasi fakta hukum. "Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap satu fakta atau bukti tertentu sehingga putusannya ringan, atau bebas. Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencari peraturan hukum sendiri sehingga fakta-fakta hukum ditafsirkan berbeda. Modus keempat, pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. "Dibuat agar terdakwa melakukan hal tersebut atas perintah atasan, sehingga terdakwa dibebaskan[10].
Praktik mafia peradilan selama ini, telah mengambarkan pola sistematik yang melibatkan unsur hakim, panitera, pengacara, polisi, jaksa, dan broker perkara. Tujuan dan motif utamanya, membisniskan bidang hukum untuk memperoleh materi dengan mengesampingkan etika dan moral sebagai elemen penting hukum.
Bab III
METODE PENULISAN
3.1. Metode Pengumpulan data
Dalam melakukan pengumpulan data, disini penulis banyak mengambil dari kumpulan artikel, karya tulis dan berbagai referensi dari buku-buku bacaan yang menyangkut dengan hukum progresif yang dikaitkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan mafia peradilan, selain itu juga berdasarkan dari hasil kajian dalam beberapa kegiatan seminar yang diikuti langsung oleh penulis sendiri. Program kegiatan diskusi baik secara formal dan informal yang penulis lakukan baik dengan dosen pembimbing dan juga dengan beberapa kalangan dari akdemisi, praktisi, eksekutif dan legislatif untuk dapat meningkatkan pengalaman yang berhubungan langsung dengan praktek kehidupan sehari-hari dalam menjalankan hukum sehingga jelas kelihatan persamaan ataupun perbedaan antara praktik dan teori.
3.2. Metode Pengolahan, Analisis data, Simpulan & Saran.
Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan berbagai data dari beberapa artikel, karangan buku, kumpulan karya ilmiah, dan beberapa kegiatan diskusi, setelah mendapatkan beberapa dasar materi, penulis mencoba melakukan pengolahan data untuk mendapatkan suatu tulisan yang diharapkan mampu memberikan suatu kontribusi yang nyata dalam pengembangan kesadaran dan sistem hukum nasional melalui pendekatan hukum progresif dengan agenda utama yaitu memberantas praktik tindak pidana korupsi dan mafia peradilan. Selain itu juga mempelajari berbagai kasus yang terjadi terkait dengan penulisan yang diolah menjadi sebuah karya tulis agar dapat mudah dipahami dan diterima oleh pembaca.
Hal ini penting, karena terhadap suatu peristiwa dapat memberikan suatu bentuk kemudahan dalam pemahaman dan mengetahui keadaan sebenarnya yang ingin disampaikan yang tentunya sesuai dengan apa yang terjadi didalam praktek kehidupan bermasyarakat sekarang ini.
Untuk itu, penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya juga dikuti dengan beberapa pemecahan persoalan yang terkait dengan pola penerapan penegakan hukum progresif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan mafia peradilan di Indonesia.
Pengambilan kesimpulan dengan cara menyelaraskan hukum progresif yang harus dikembangkan di Indonesia dan bagaimana hukum progresif bisa bermain dan dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia yang lebih bersifat formalitas sehingga hukum progresif benar-benar menjadi senjata ampuh dalam pengembangan sistem hukum di Indonesia. Untuk memberikan kontribusi yang nyata penulis juga memuat berbagai saran dalam penerapan hukum progresif dan cara pemberantasan tindak pidana korupsi dan mafia peradilan di Indonesia.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Merealisasikan Hukum Progresif di Indonesia Dalam Memberantas Korupsi dan Mafia Peradilan.
Sebelum membahas lebih lanjut pada pokok bahasan ini, penulis memulai dengan suatu langkah berbaik sangka dalam memandang profesi hukum terkait nantinya termasuk juga elemen masyarkat. Hal ini untuk menegaskan bahwasanya untuk mengapresiasi setiap prestasi yang telah diraih dalam rangka penegakan hukum di Indonesia karena masih ada orang baik-baik di Negeri ini. Walaupun sekelompok kecil yang mempertahankan idealisme dan tanggung jawab yang tinggi terhadap amanah yang diberikan kepadanya. Diluar itu semua merupakan segelintir oknum yang senang memanfaatkan jabatan dan peluang dengan melakukan praktik-praktik kotor yang melanggar dengan ketentuan hukum guna meengambil keuntungan secar pribadi dan kelompok tertentu. Mirisnya lagi, perbuatan melenceng tesebut bisa dilakukan dengan mensiasati peraturan-peraturan perundang-undangan. Dan disinilah jelas letak kelemahan hukum kita. Untuk itu marilah kita merealisasikan hukum yang progresif. Pencermatan mengenai bagaimanakah kondisi hukum seutuhnya yang terjadi diseputaran kita selalu mengusik dalam setiap perenungannya. Formalitas hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum. Akibatnya muncul gelombang perasaan ketidakpuasan dalam masyarakat yang berpuncak saat bangsa ini hendak melakukan pemberantasan korupsi. Kita sudah sama-sama tahu sebagai negara yang berpredikat terkorup, namun sampai saat ini koruptor masih saja merajalela dan bahkan bisa terlepas dari jeratan hukuman dengan mudah yang dipengaruhi oleh praktik mafia peradilan.
Koruptor kelas kakap mampu mempermainkan substansi peraturan perundang-undangan dengan menyewa tenaga advokasi yang handal sehingga dapat terbebas dari jeratan hukuman. Usaha ini tidak hanya dilakukan oleh dua pihak saja, dalam artian pihak yang akan membeli dan pihak penjual yang dilakukan oleh oknum oknum tertentu di lembaga Kepolisian, Advokat, Jaksa, dan hakim yang berperan sentral dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ini ditengarai oleh sikap yang submissive (patuh) terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum kita, selain ketidakmampuan criminal justice system dalam mengemban tugasnya. Akibatnya muncuul sejumlah pertanyaan yang mempersoalkan sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat dihandalkan sebagai lembaga pencari keadilan, tidak profesionalnya aparat penegak hukum di Indonesia, yang bermuara pada ketidakpuasan terhadap eksistensi lembaga peradilan di negeri ini. Dari semua itu, memang kita sudah mempunyai sejumlah peraturan perundangan yang secara sistemik telah mapan dan setidaknya bila dilihat dari sejumlah (kuantitas) peraturan perundangan, tampaknya tidak cukup hanya membenahi peraturan dan lembaganya saja manakala kita berbicara kemapanan sebuah sistem hukum. Unsur budaya hukum juga harus dibenahi, budaya hukum masyarakat dan juga budaya hukum penegak hukum itu sendiri.
Tidak mungkin dan rasa pesimistis dalam memberantas suap yang menjadi unsur awal korupsi dan penyalahgunaan wewenang pada jaksa, hakim atau polisi dan penegak hukum lain, sementara masyarakatnya sendiri memberikan peluang bahkan sebagai aktor utamanya. Wacana mafia peradilan telah digulirkan jauh sebelum terungkapnya isu suap di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang menjadi kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia juga tidak terbebas dari kasus suap. Lembaga yang seharusnya memberikan contoh dalam memberantas Korupsi dan mafia peradilan malah terkotori oleh ulah oknum tertentu dilingkunagn Mahkamah Agung yang mengakibatkan seluruh lembaga pengadilan sulit dibebaskan dari praktik-prakti kotor tersebut. ”Bagaimana mungkin membersihkan sebuah rumah kalau sapunya sendiri kotor”.
Masalah korupsi tidak bisa diselesaikan hanya melalui penegakan hukum. Penyelesaian masalah korupsi haruslah dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan yang bersifat progresif, yaitu hukum, ekonomi dan moral.
Pemberantasan korupsi haruslah mendapat dukungan penuh dari seluruh elemen masyarakat. Tanpa peran serta masyarakat, upaya pencegahan dan penindakan korupsi tidak akan berhasil.
Pencegahan Korupsi dan mafia peradilan perlu difokuskan pada perbaikan sistem hukum, kelembagaan, ekonomi dan perbaikan manusianya (moral, kesejahteraan, pendidikan). Sesungguhnya yang paling penting untuk dimiliki dalam pemberantasan korupsi dan mafia peradilan adalah political will negara dalam memerangi korupsi termasuk di dalamnya political will parlemen yang tidak jarang terkesan menutup-nutupi kasus korupsi bilamana sang koruptor bertalian erat dengan partai politiknya. Selain itu juga political will dari pemerintah yang berupaya untuk tidak melindungi pejabatnya yang korup. Dan yang terakhir tentunya adalah political will dari aparat penegak hukum itu sendiri. Apakah itu jaksa penuntut umum yang mungkin dengan sengaja membuat dakwaan yang obscure libel (dakwaan gelap, samara-samar) sehingga sang koruptor mudah dibebaskan. Apakah itu pengacara yang menghalalkan segala cara untuk membebaskan koruptor dengan semboyan maju tak gentar membela yang bayar,. Apakah itu hakim sebagai decision maker (pembuat keputusan) yang hanya berpijak pada kepastian hukum sehingga membebaskan kouptor tanpamemperhatikan rasa keadilan masyarakat.
4.2. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk pembangunan kesadaran dan sistem hukum bangsa ini perlu disikapi dengan penerapan Hukum Progresif yang berlandaskan pembinaan dan pengembangan etika atau moral dan akal serta berhati nurani. Etika atau moral sangat melekat pada diri manusia, oleh karena itu bertitik tolak dari pembinaan dan penataan etika, perlu alat penilai, yaitu consciousness kata hati atau kesadaran jiwa manusia. Isi dari consciousness ini merupakan kesatuan dari totalitas sejumlah sikap jiwa, yang terdiri dari metoda kesadaran terhadap kesanggupan, kekurangan diri sendiri, pertimbangan rasa sebagai cerminan dari adanya rasa keadilan, kemanusiaan dan kesehatan pikiran, kedewasaan jiwa, sebagai pencerminan dari kekayaan pengalaman, kemasakan pertimbangan dan sikap penghati-hatian. Ketiga hal ini terdapat pada manusia dimana Hukum Progresif sangat bertumpu pada Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hukum. Oleh karena itu, cara membangunnya dapat melalui lembaga pendidikan tinggi hukum yang akan melahirkan manusia-manusia yang beretika atau bermoral.
Dalam memberantas korupsi dan mafia peradilan, hukum progresif sangat ampuh, karena hukum progresif tidak bersifat primitif atau penegakan hukum yang konvensional artinya tidak memandang penegakan hukum itu hanya sebatas menilai hitam putih, hanya menilai pada kulit undang-undang, prosedur, asas, doktrin. Selama ini, kita belum bisa menjalankan hukum secara cerdas, hukum tidak dijalankan secara lebih bermakna, hukum masih lebih sering dijalankan secara primitif. Maka disini berperan penting keceradasan intelektual, spirititual dan emosional.
4.3. SARAN
  1. Hukum progresif harus ditafsirkan sebagai kekuatan baru yang menberikan pencerahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, bukan malah menafsirkan sebagai bentuk pemikiran yang menolak peraturan formil;
  2. Hukum progresif ini hendaknya dibahas lebih lanjut dalam materi perkuliahan dengan memasukkannya pada salah satu mata kuliah pada Fakultas Hukum sehingga dapat mendidik jiwa-jiwa yang berpikir progresif dan mengedepankan nilai-nilai keadilan yang diaharapkan masyarakat;
  3. Dalam menyelesaikan suatu perkara, penegak hukum sudah saatnya tidak semata-mata memfokuskan pada peraturan perundang-undangan, tetapi penegak hukum lebih mengedepankan nilai dan makna hukum itu sendiri melalui hati nurani dan keyakinan yang baik;
  4. Peran Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus lebih optimal dalam menjalankan prinsip hukum progresif ini sehingga berjalannya mobilisasi hukum yang sinergis dan profesional guna menggapai supremasi hukum;
  5. Keterlibatan seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa dan LSM untuk terus mengawasi perkembangan penegakan hukum di indonesia dan membawanya kearah yang lebih maju;
  6. Pemberantasan korupsi dan mafia peradilan haruslah dipimpin oleh pemimpin yang berani, bersih, reputasinya baik, moralnya tinggi, dan bisa menjadi teladan.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Pramudya, 2007, Hukum itu kepentingan, Sanggar Mitra Sabda, Salatiga.
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
Suherman, Ade Maman, 2006, Pengantar Perbandingan sistem hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1983, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya.
Daftar Jurnal, Majalah, Surat Kabar dan Internet
H Winarta, Frans, Juli-Agustus 2005, Korupsi dan dana non budgeter, Newsletter KHN, Vol 5, No.2. halaman 18
Rozi Syafuan,1999, Menjinakkan Korupsi Indonesia, Masyarakat Transparansi Indonesia;
Lawrence M.Friedman, “American Law: as an introduction” dalam Jurnal Keadilan Vol.2, No.1 tahun 2002, halaman 48.
M.Busyro Muqoddas SH, MHum. Ketua Komisi Yudisial, Mafia Peradilan Berjalan Sistemik, Tempointeraktif.com. 6 Oktober 2005.
www.google.com
www.wikipidea.com
www.jurnalhukum.com
Daftar Peraturan
UUD 1945
UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
UU RI Nommor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.


[1] MM.Billah, “Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia”, makalah, Bali 2003.
[2] Joni Emirzon SH.MHum, Urgensi Etika (Moral) dalam pembangunan hukum progresif di masa depan.
[3] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang membebaskan”, Jurnal Hukum Progresif,Vol.I No.1 April 2005, hal 1
[4] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, Maret, 2007
[5] Lawrence M.Friedman, “American Law: as an introduction” dalam Jurnal Keadilan Vol.2, No.1 tahun 2002, halaman 48.
[6] Syafuan Rozi, Menjinakkan Korupsi di Indonesia, Peneliti PPW Lipi Jakarta. Copyright Masyarakat Transparansi Indonesia 1999.
[7] ( Siti Aminah, “Katakan tidak” : Panduan Melawan Mafia Peradilan., KP2KKN Jawa Tengah., Semarang., 2006. hal. 5)
[8] (Proceeding Training, “Penguatan Gerakan Anti Mafia Peradilan”, KP2KKN-Partnership, Semarang 25-28 April 2006).
[9] Satjipto Rahhardjo, Menunggu Hakim Partisan Anti Korupsi, dalam Membedah Hukum Progresif halaman 148.
[10] M.Busyro Muqoddas SH, MHum. Ketua Komisi Yudisial, Mafia Peradilan Berjalan Sistemik, Tempointeraktif.com. 6 Oktober 2005.